PRINSIP NEGARA BERDASARKAN ATAS HUKUM
Pendahuluan
Sebuah Undang-Undang Dasar (UUD) maupun aturan hukum pada umumnya terdiri dari suatu bangunan yang sistematik, yang tentu memiliki implikasi secara internal maupun secara eksternal sesuai dengan realitas ketatanegaraan. Secara internal, UUD itu dituntut untuk memiliki korelasi atau hubungan antar pasal-pasal, bab-bab dan ayat-ayat yang ada didalamnya. Sementara secara eksternal, UUD itu harus memiliki hubungan yang positif dengan aturan-aturan lain yang berada diluarnya
Sebuah Undang-Undang Dasar (UUD) maupun aturan hukum pada umumnya terdiri dari suatu bangunan yang sistematik, yang tentu memiliki implikasi secara internal maupun secara eksternal sesuai dengan realitas ketatanegaraan. Secara internal, UUD itu dituntut untuk memiliki korelasi atau hubungan antar pasal-pasal, bab-bab dan ayat-ayat yang ada didalamnya. Sementara secara eksternal, UUD itu harus memiliki hubungan yang positif dengan aturan-aturan lain yang berada diluarnya
UUD
atau konstitusi negara bukanlah sesuatu yang sakral dan tidak bisa dirubah.
Dalam artian UUD atau konstitusi tetap harus mengikuti perkembangan zaman, yang
bisa mengadopsi semua tuntutan perubahan yang ada. Kesalahan terbesar pada saat
pemerintahan orde baru, ketika menempatkan UUD 1945 pada posisi yang sempurna
dan sakral yang sudah tidak membutuhkan perubahan lagi, bahkan celakanya bagi
golongan yang yang ingin melakukan perubahan akan harus siap berhadapan dan
tersingkir dari parlemen.
Arah baru harapan sejarah, pasca tumbangnya
pemerintahan orde baru oleh gerakan pro-demokrasi yang dipelopori oleh
mahasiswa, pemuda, dan masyarakat umum menutut untuk dilakukan perubahan
ditubuh UUD 1945. Gerakan itu menamakan dirinya sebagai gerakan reformasi,
gerakan untuk perubahan yang sudah tidak tahan lagi menyaksikan pelanggaran
konstitusi yang dilakukan oleh pemeritahan orde baru. Walhasil dari seluruh
bagian-bagian UUD 1945 yang berhasil ditafsirkan oleh orde baru demi
menyelamatkan dan mengamankan kepentingan pribadi dan kelompoknya serta
merugikan rakyat berhasil diamandemen, sehingga dalam kehidupan ketatanegaraan
Indonesia mengalami perubahan yang cukup derastis terhadap lembaga-lembaga
negara.
UUD 1945 sebagai konstitusi negara
Indonesia, pasca amandemen pertama dan keempat yang berlangsung dari tahun 1999
sampai tahun 2002, memiliki perubahan yang signifikan dan drastis jika
dibandingkan dengan sebelum amandemen, sehingga dalam proses amandemen sebagian
pakar hukum tata negara menganggap sebagai pembuatan UUD baru, karena dinilai terlalu
banyak yang dirubah dan ditambah.
Dari adanya UUD 1945 baik sebelum dan
sesudah amandemen sehubungan dengan lembaga-lembaga negara, jika diteropong
dari realitas ketatanegaraan akan memiliki implikasi-implikasi atau konsekwensi
berbeda, karena semua masuk dalam suatu sistem yang menjadi perangkat kesatuan.
Implikasi tersebut juga menjadi alat ukur kemapanan berdemokrasi di suatu
negara
A.
Kedudukan Presiden
Sebagai Kepala Negara
Dalam
sistem yang dianut oleh UUD 1945, Presiden Republik Indonesia mempunyai
kedudukan sebagai Kepala Negara dan sekaligus Kepala Pemerintahan. Memang ada
kedudukan lain yang juga disebut dalam UUD 1945, yaitu dalam Pasal 10 yang
menyatakan bahwa “Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan
Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara”. Kedudukan ini biasa disebut sebagai
Panglima Tertinggi atas ketiga angkatan bersenjata atau ketiga angkatan Tentara
Nasional Indonesia. Selanjutnya dalam Pasal 10A (baru), dinyatakan pula bahwa
“Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Kepolisian Negara Republik
Indonesia”.
Kewenangan-kewenangan yang ditetapkan dalam Pasal-pasal 10, 11, 12, 13, 14, dan Pasal 15 UUD 1945 biasanya dikaitkan dengan kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara.
Pasal
11 mengatur mengenai kewenangan Presiden untuk menyatakan perang dan damai
serta kewenangan untuk membuat perjanjian dengan negara lain.
Pasal
12 berkenaan dengan kewenangan menyatakan keadaan bahaya,
Pasal
13 berkenaan dengan pengangkatan dan penerimaan Duta Besar dan Konsul.
Pasal
14 mengenai pemberian grasi dan rehabilitasi, serta pemberian amnesti dan
abolisi; dan
Pasal
15 mengenai pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan lainnya. Sesuai
hasil Perubahan Pertama UUD 1945, pelaksanaan kewenangan Presiden tersebut di
atas secara berturut dipersyaratkan diperhatikannya pertimbangan DPR,
pertimbangan MA, ataupun diharuskan adanya persetujuan DPR, dan bahkan
diharuskan adanya UU terlebih dahulu yang mengatur hal itu.
Pelaksanaan
kewenangan yang diatur dalam Pasal 11 memerlukan persetujuan DPR. Pelaksanaan
kewenangan yang diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 15 mempersyaratkan adanya UU
mengenai hal itu lebih dahulu. Pelaksanaan kewenangan dalam Pasal 13 memerlukan
pertimbangan DPR yang harus diperhatikan oleh Presiden. Sedangkan pelaksanaan kewenangan
dalam Pasal 14 dibagi dua, yaitu untuk pemberian grasi dan rehabilitasi
diperlukan pertimbangan MA, sedangkan pemberian amnesti dan abolisi diperlukan
pertimbangan DPR.
B. Kedudukan Presidan Sebagai Kepala Pemerintahan
Kedudukan Presiden sebelum amandemen,
yaitu
Ø
sebagai
kepala negara,
Ø
sebagai
kepala pemerintahan,
Ø
sebagai
pembentuk undang-undang dengan persetujuan DPR.
Setelah amandemen UUD 1945, kedudukan
Presiden sudah banyak dikurangi, antara lain sebagai berikut :
Hakim agung tidak lagi diangkat oleh
Presiden melainkan diajukan oleh komisi yudisial untuk diminta persetujuan DPR,
selanjutkan ditetapkan oleh Presiden (Pasal 24A ayat (3) perubahan ketiga UUD
1945). Demikian juga anggota Badan Pemeriksa Keuangan tidak lagi diangkat oleh
Presiden, tetapi dipilih oleh DPR dengan memperhatikan DPD dan diresmikan oleh
Presiden (Pasal 23F ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945). Pengangkatan
pejabat-pejabat tersebut mencerminkan suatu mekanisme ketatanegaraan yang
mengarah kepada suatu keseimbangan dan demokratisasi. Namun sangat disayangkan,
pengangkatan seorang jaksa agung masih menjadi kewenangan presiden, tanpa
melibatkan DPR secara nyata.
Selanjunya rancangan undang-undang yang
telah dibahas bersama antara DPR dengan presiden apabila dalam waktu tiga puluh
(30) hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui tidak disahkan
oleh Presiden, maka rancangan undang-undang tersebut sah berlaku dan wajib
diundangkan (Pasal 20 ayat (5) perubahan pertama UUD 1945). Jadi, persetujuan
atau pengesahan atas rancangan undang-undang menjadi undang-undang oleh
Presiden tidak mutlak.
Namun demikian, di sisi lain, posisi
presiden semakin kuat, karena ia tidak akan mudah dijatuhkan atau diberhentikan
oleh MPR, meskipun ia berada dalam kondisi berbeda pandangan dalam
penyelenggaraan pemerintahannya dengan parlemen baik kepada DPR maupun kepada
DPD. Selama tidak diputus melanggar hukum oleh mahkamah konstitusi, maka posisi
presiden akan aman. Selain itu, presiden tidak lagi bertanggungjawab kepada
MPR, karena presiden dipilih langsung oleh rakyat.
MPR masih dapat mengehentikan presiden
dan/ atau wakil presiden dalam masa jabatannya atas usul DPR (Pasal 7A
perubahan ketiga UUD 1945). Namun, hal ini akan sangat bergantung kepada
keputusan mahkamah konstitusi, karena menurut pasal 7B ayat (1) menyatakan usul
pemberhentian presiden dan/ atau wakil presiden dapat diajukan oleh DPR kepada
MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada mahkamah
konstitusi untuk memutus pendapat DPR bahwa presiden dan/ atau wakil presiden
telah melakukan pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum ini berupa penghianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela, dan/ atau pendapat bahwa
MPR juga dapat memilih presiden dan
wakil presiden pengganti apabila terdapat kekosongan jabatan presiden dan wakil
presiden ditengah masa jabatannya secara bersamaan (pasal 8 ayat (3) UUD 1945).
Yang menjadi persoalan kemudian adalah pertanggungjawaban presiden dan wakil
presiden yang dipilih oleh MPR tersebut. Apakah ia bertanggungjawab kepada
rakyat atau kepada MPR yang telah memilih dan mengangkatnya.
Ketentuan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 ini
menunjukkan bahwa MPR tidak konsisten dengan pemilihan presiden dan wakil
presiden secara langsung. Sebaiknya dalam hal ini perlu dikaitkan dengan sisa
masa jabatan presiden dan atau/ wakil presiden itu. Misalnya, majelis boleh
memilih presiden dan/ atau wakil presiden pengganti jika sisa masa jabatan itu
masih lama, lebih dari 12 bulan, maka sebaiknya pemilihan presiden dan/ atau
wakil presiden pengganti diserahkan kembali kepada rakyat. Dengan demikian
kewenangan MPR dalam memilih presiden dan/ atau wakil presiden pengganti hanya
bersifat sementara dan semata-mata karena pertimbangan tekhnis.
D.
Pemilihan
Atau Pengangkatan Presiden Sebelum Amandemen Uud-Ri 1945
JAKARTA, KOMPAS.com — Setelah melewati rapat yang dinamis, panitia adhoc MPR
berhasil merampungkan Rancangan Keputusan MPR RI tentang Peraturan Tatib MPR RI
dan Kode Etik Anggota MPR. Rancangan ini dinilai strategis karena mengatur tata
cara pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya. Hal
ini diatur pada Bab XVII Pasal 102-105 dengan tata cara sebagai berikut:
1. Pertama, MPR wajib menyelenggarakan Sidang Paripurna MPR untuk memutuskan usul DPR mengenai pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden pada masa jabatannya paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usulan.
2. Usulan DPR harus dilengkapi dengan putusan MK bahwa presiden dan/atau wakil presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.
3. Kemudian, MPR mengundang presiden dan/atau wakil presiden untuk
menyampaikan penjelasan yang berkaitan dengan usulan pemberhentiannya dalam
Sidang Paripurna MPR.
4. Apabila presiden dan/atau wakil presiden tidak hadir untuk menyampaikan penjelasan, MPR tetap mengambil putusan terhadap usulan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden.
5. Keputusan MPR atas usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden harus diambil dalam Sidang Paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.
Dalam UUD 1945 pada pasal 3 ayat
III perubahan amandemen ke tiga tentang pemberhentian presiden atau wakil
presiden yang berbunyi “majelis pemusyarawatan rakyat hanya dapat
memberhentikan presiden atau wakil presiden dalam masa jabatangnya menurut
undang – undang dasar”.
SEBELUM
PERUBAHAN UUD 1945
PRESIDEN
Presiden selain memegang
kekuasaan eksekutif (executive power), juga memegang kekuasaan legislative
(legislative power) dan kekuasaan yudikatif (judicative power). Presiden
mempunyai hak prerogatif yang sangat besar. Tidak ada aturan mengenai batasan
periode seseorang dapat menjabat sebagai presiden serta mekanisme pemberhentian
presiden dalam masa jabatannya, sehingga presiden bisa menjabat seumur hidup.
WEWENANG
·
Mengangkat dan memberhentikan
anggota BPK.
·
Menetapkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (dalam kegentingan yang memaksa)
·
Menetapkan Peraturan
Pemerintah
·
Mengangkat dan memberhentikan
menteri-menteri
PEMILIHAN
Presiden dan Wakil Presiden diangkat dan diberhentikan oleh MPR.
Presiden dan Wakil Presiden diangkat dan diberhentikan oleh MPR.
WEWENANG
·
Memegang kekuasaan
pemerintahan menurut UUD
·
Presiden tidak lagi mengangkat
BPK, tetapi diangkat oleh DPR dengan memperhatikan DPD lalu diresmikan oleh
presiden.
·
Memegang kekuasaan yang
tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara
·
Mengajukan Rancangan
Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Presiden melakukan
pembahasan dan pemberian persetujuan atas RUU bersama DPR serta mengesahkan RUU
menjadi UU.
·
Menetapkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (dalam kegentingan yang memaksa)
·
Menetapkan Peraturan
Pemerintah
·
Mengangkat dan memberhentikan
menteri-menteri
·
Menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain dengan persetujuan DPR
·
Membuat perjanjian
internasional lainnya dengan persetujuan DPR
·
Menyatakan keadaan bahaya
PEMILIHAN
Calon Presiden dan Wakil
Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilu sebelumnya. Pilpres pertama kali di Indonesia diselenggarakan pada tahun
2004.
Jika dalam Pilpres didapat
suara >50% jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20% di setiap
provinsi yang tersebar di lebih dari separuh jumlah provinsi Indonesia, maka
dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Jika tidak ada
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, maka pasangan yang
memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam Pilpres mengikuti Pilpres
Putaran Kedua. Pasangan yang memperoleh suara terbanyak dalam Pilpres Putaran
Kedua dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih.
- Presiden memegang posisi sentral dan dominan sebagai mandataris MPR, meskipun kedudukannya tidak “neben” akan tetapi “untergeordnet”.
- Presiden menjalankan kekuasaan pemerintahan negara tertinggi (consentration of power and responsiblity upon the president).
- Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power), juga memegang kekuasaan legislative (legislative power) dan kekuasaan yudikatif (judicative power).
- Presiden mempunyai hak prerogatif yang sangat besar.
- Tidak ada aturan mengenai batasan periode seseorang dapat menjabat sebagai presiden serta mekanisme pemberhentian presiden dalam masa jabatannya.
SESUDAH
PERUBAHAN UUD 1945
PRESIDEN
- Membatasi beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki tata cara pemilihan dan pemberhentian presiden dalam masa jabatannya serta memperkuat sistem pemerintahan presidensial.
- Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR.
- Membatasi masa jabatan presiden maksimum menjadi dua periode saja.
- Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta harus memperhatikan pertimbangan DPR.
- Kewenangan pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan DPR.
- Memperbaiki syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil presiden menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat melui pemilu, juga mengenai pemberhentian jabatan presiden dalam masa jabatannya.
SETELAH AMANDEMEN
Kedudukan presiden sebagai kepala negara, kepala pemerintahan dan berwenang
membentuk Undang-Undang dengan persetujuan DPR. Masa jabatan presiden adalah
lima tahun dan dapat dipilih kembali selama satu periode.